Oleh : Poltak Simanjuntak | 27-Jan-2012, 13:14:12 WIB
KabarIndonesia - Tidak seperti gerak lambatnya,Becak Siantar yang sejak lama menjadi ikon Kota Pematang Siantar ini, justru harganya melejit kencang menembus pasar barang antik. Keaslian spare part dan polesan menjadi salah satu nilai jual yang kadang di luar perhitungan ilmu pemasaran. Semakin asli, semakin apik dan semakin tua, harga semakin tinggi.
Becak Siantar yang konon adalah peninggalan pasukan sekutu—Inggris—ketika Perang Dunia II dan peninggalan perusahaan kebun Eropa yang ada di sekitar Siantar. Belakangan di tangan warga Siantar dijadikan menjadi salah satu moda transportasi yang mampu mengangkut 2 (dua) orang penumpang dan barang.
Disebut sebagai ikon Kota Pematang Siantar, Becak Motor bermesin BSA buatan Inggris ini, memiliki suara khas. Jika melakukan perjalanan dari Medan ke arah Tapanuli, dalam keadaan mata terpejam, kita bisa tahu sudah berada di Kota Pematang Siantar dengan mendengar suara khas knalpot Beca Siantar.
Perkembangan teknologi industri moda transportasi, yang menghadirkan berbagai moda transportasi yang lebih modern, murah dan massal, menjadi tantangan tersendiri bagi kelangsungan hidup Beca Siantar sebagai alat angkut terjangkau masyarakat. Biaya pemeliharaan yang tinggi dan konsumsi bahan bakar yang relatif banyak, memaksa pemilik Beca Siantar harus mempertahankan ongkos yang relatif tinggi juga. Beruntung, Pemerintah Kota Siantar, masih memberi ruang bagi beroperasinya kenderaan tua ini, hingga bisa walau terseok bertahan.
Sadar akan kecenderungan pasar, pemilik Beca Siantar, belakangan mulai berfikir, Beca Siantar bukan lagi sebagai moda transportasi yang bisa bertahan lama dengan serbuan moda transport yang semakin mudah diperoleh masyarakat. Mudahnya mendapat kredit sepeda motor, secara langsung mengurangi pengguna jasa Beca yang sudah berumur 60 tahunan ini. Peluang baru menyeruak, Beca Siantar menjadi investasi baru jika disulap menjadi barang antik yang punya sejarah dan berumur.
Jika puluhan tahun lalu, satu unit Sepeda Motor ber-CC 350 dan 500 Besar merk BSA ini, tidak punya nilai ekonomi yang tinggi, hingga sebagian teronggok jadi besi tua, belakangan dilirik menjadi peninggalan sejarah bernilai tinggi.
Bagi pemilik beca Siantar yang diperkirakan berjumlah 300 unit yang mampu bertahan dan tetap merawat becaknya walau tak mampu lagi menjadi sumber pendapatan bagi keluarga pemiliknya, belakangan seolah mendapat durian runtuh.
Beca Siantar diburu para penggila motor besar tua yang berkocek tebal. Harga pun meroket, hingga mengalahkan logika pasar. Bayangkan, satu unit Becak Siantar, apalagi yang sudah mendapat sentuhan halus sang montir khusus yang hanya ada di Kota Pematang Siantar, bisa dibanderol hingga 30 – 70 juta.
Lantas Sinaga (47) salah seorang pemilik Becak Mesin Birmingham Small Arm (BSA) tahun pembuatan 1952 membenarkan bahwa dirinya tidak lagi mengharapkan beca miliknya sebagai moda transportasi umum. Becak yang sengaja ditutupinya dengan terapal, hanya dihidupkan sesekali, guna perawatan mesin.
“Becak ini buatan tahun 1952, dengan kapasitas mesin 350 cc. Onderdilnya 80 % masih original dan terawat dan baru saja saya service ke Medan untuk pengececatan dan meng-chrome blok mesin, lingkar dan suspensinya”, katanya sambil menunjukkan tulisan Made in England di berbagai bagian mesin becaknya.
Sangat masuk akal memang sebab dengan biaya perbaikan yang digelontorkan Lantas untuk membangun becak sesuai dengan keinginannya, tidak sesuai lagi jika becak yang sudah mulus ini diharapkan menjadi alat tranportasi yang hanya mematok ongkos puluhan ribu sekali tarik.
“Untuk membuat becak ini jadi seperti sekarang ini, saya sudah mengeluarkan biaya jutaan rupiah dengan maksud agar bisa saya jual ke pemburu Beca Siantar yang belakangan ini semakin banyak. Ada beberapa orang yang sudah menawar 30 juta, 50 juta, belum saya lepas sebab saya mematok harga 70 juta”, katanya sambil menghidupkan becaknya dengan sekali engkol.
Diakuinya bahwa selama memiliki becak, dirinya dan pemilik becak lainnya tidak mengalami kesulitan untuk mendapatkan spare part dan perbaikan sebab ada “dokter” nya Pak Haji yang buka bengkel di di Jl. Jawa Pematang Siantar.
“Jika dulu banyak pembeli becak siantar ini dengan cara mempreteli untuk dijadikan Motor Gede (Moge) di luar Kota Siantar, belakangan kami tidak mau lagi sebab dinilai sebagai barang rongsokan, ternyata dengan sentuhan sedikit, kami bisa menjual utuh dengan harga yang tinggi”, jelas Lantas.
Walau mengaku kesulitan menemukan pembeli, Lantas optimis, suatu saat akan menemukan orang “penggila” Becak Siantar yang lebih memperdulikan keunikan dari pada harga. Selain memajang barang antiknya di ruas Jalan Simbolon Pematang Siantar, Lantas pun telah pula mempromosikannya lewat jejaring sosial Facebook.
Jika peluang ini dimanfaatkan seluruh pemilik Becak di Pematang Siantar, dan laris manis bukan tidak mungkin beberapa tahun ke depan seluruh motor tua buatan tahun 1940-1960-an ini tidak lagi bisa kita temui di Pematang Siantar. Lalu, apa kebijakan Pemko Pematang Siantar dalam melestarikan salah satu ikon kota ini?
Fernando Simanjuntak, salah seorang tokoh generasi muda, kelahiran dan berdomisili di Pematang Siantar, mengatakan bahwa keberadaan Becak Siantar perlu dilestarikan. Pemko Siantar dimintanya untuk memberi atensi khusus baik berupa Perda maupun kebijakan yang menjamin keberlangsungan hidup Becak Siantar karena sudah pernah berjasa sebagai ciri khas dan diyakininnya bisa mendukung kepariwisataan di kota ini.
“Keberadaan Becak Siantar harus dilestarikan. Jika di kota-kota lain pejabatnya sibuk mendukung produksi mobil seperti Mobil Esemka, kenapa tidak didukung pengembangan produksi spare part BSA di Kota Pematang Siantar yang didukung Pemko Siantar?”, katanya setengah bertanya. (*)
0 komentar:
Posting Komentar